Teater Politik Vaksin Nusantara
OLEH: ZAINAL BINTANG
MENTERI
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Penny K. Lukito, dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal
TNI Andika Perkasa, menyepakati riset berbasis pelayanan menggunakan sel
dendritik untuk meningkatkan imunitas dari SARS-CoV-2 yang memicu Covid
19.
Dengan demikian: Uji klinik vaksin Nusantara dihentikan.
Kesepakatan
ditandatangani Senin (19/4) di Markas Besar TNI AD di Jalan Veteran,
Jakarta Pusat. Disaksikan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan Muhajir Effendy.
Penelitiannya
dipusatkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Penelitian akan memedomani kaidah sesuai dengan ketentuan undang-undang
dan bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien
sendiri.
Sebelumnya,
kalangan TNI menegaskan vaksin Nusantara bukanlah program TNI, kata
Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad pada jumpa pers di Mabes TNI,
Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (19/4).
Dua
keputusan besar dari markas besar TNI itu yang dikeluarkan pada hari
yang sama, namun dari tempat yang berbeda: mengakhiri hidup vaksin
Nusantara!
Sejak
awal, TNI terlibat aktif dalam upaya penanganan Covid-19. Skenario
pelibatan Militer secara teoritis, operasi selain perang merupakan
pemanfaatan “kapasitas tak terpakai” (idle capacity) organisasi militer
di masa damai.
Secara
umum, pelibatan TNI termasuk ke dalam mekanisme tugas perbantuan dalam
kerangka OMSP (Operasi Militer Selain Perang). OMSP adalah serangkaian
operasi militer di luar peperangan dalam skema perbantuan terhadap
otoritas sipil berdasarkan kompleksitas ancaman yang diatur secara ketat
melalui legislasi.
Pelaksanaan
OMSP merupakan respons organisasi militer terhadap situasi kritis atau
darurat ketika otoritas sipil memiliki keterbatasan dalam penanganannya.
Jagad
politik Indonesia telah dihebohkan narasi patriotisme vaksin Nusantara.
Sejumlah tokoh bersama anggota DPR rela menjadi relawan vaksin
Nusantara besutan mantan Menkes Terawan Agus Putranto.
Proses pengambilan sampel darah dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4) itu, sifatnya bukanlah suntikan vaksin.
Nama
relawan yang tercatat ada Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR RI), Melki
Laka Lena, Saleh Daulay, Adian Napitupulu, Nihayatul Wafiroh. Arzetty
Bilbina.
Dalihnya:
atas nama kedaulatan kesehatan dan dukungan kepada karya anak bangsa.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan mantan Ketum Golkar, Aburizal
Bakrie juga bergabung.
Wakil
rakyat dan tokoh bangsa itu mengaku mendukung proses pengadaan vaksin
Nusantara sebagai kebanggaan anak bangsa dan agar dapat berjalan lebih
awal.
Diharapkan
kedaulatan dan kemandirian Indonesia dapat terjamin dalam bidang
kesehatan dan pengobatan. Kesiapan produksi skala besar vaksin dalam
negeri menjadi opsi, guna menunjang kesinambungan stok apabila terjadi
embargo oleh negara produsen.
Gejala
embargo mulai terlihat ketika India menghentikan pengiriman vaksin
AstraZeneca ke Indonesia. Produk India itu dikerjasamakan dengan The
Global Alliance for Vaccines and Immunisation (GAVI).
Indonesia
rencananya akan mendapatkan vaksin AstraZeneca gratis sebanyak 54 juta
dosis. Melonjaknya secara mendadak penularan Covid-19 secara drastis di
India saat ini, menghambat pengiriman vaksin, karena akan diprioritaskan
bagi warga India sendiri.
Menurut
Kepala Badan POM Penny K. Lukita, proses pembuatan vaksin Nusantara
belum memenuhi beberapa prosedur ilmiah yang diwajibkan dilakukan sesuai
dengan kaidah saintifik yang mutlak sifatnya.
Ia
menilai banyak kelemahan pada pengembangan vaksin Nusantara yang dibela
DPR. Salah satunya adalah banyak komponennya yang masih impor dari AS.
Semua
komponen utama pembuatan vaksin dendritik diimpor dari AS. Seperti
antigen, GMCSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor),
medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan.
Transfer
teknologi butuh waktu 2-5 tahun untuk mengembangkannya di Indonesia.
Aivita Biomedical Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk
biologi. CEO Aivita Indonesia mengakui akan mengimpor obat-obatan
sebelum produksi di Indonesia.
Hasil
uji klinis tahap I yang telah dilakukan kepada hewan dilakukan di
Amerika. Bukan dengan hewan Indonesia. Lagi pula, vaksin Nusantara yang
berbasis sel denritik hanya boleh disuntikkan kembali kepada pemilik
darah itu sendiri.
Tidak mudah menjadi vaksin massal karena memerlukan biaya prosesing yang sangat mahal.
Data-data
penelitian disimpan dan dilaporkan dalam Electronic Case Report Form
(ECRF) menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang
dikembangkan Aivita Biomedical Inc dengan server di Amerika.
Kerahasiaan
data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian
penelitian. Tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan Aivita
Biomedical Inc USA.
Badan
POM juga mencatat keterlibatan peneliti asing dalam riset vaksin
Nusantara, sehingga dalam dengar pendapat dengan Komnas Penilai Obat ada
banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh peneliti utama dari
Indonesia, demikian Penny K Lukito dalam rilisnya, Rabu (14/4).
Namun,
Laka Lena mengeritik pernyataan Penny K Lukito yang tak mengizinkan uji
klinis tahap II. Menurutnya, Penny telah membohongi publik dan peneliti
dengan pernyataannya.
Mengacu
pada hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX dengan
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional
(Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro, dan Terawan, dan sejumlah
peneliti pada Rabu (10/3) disimpulkan oleh rapat itu bahwa Badan POM
diminta untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik
(PPUK) uji klinis tahap II paling lambat 17 Maret 2021.
Legislator
dapil NTT itu menuduh Penny telah berdusta. Penny dituduh
mendramatisasi seolah-olah vaksin Nusantara berbahaya, dengan 71 persen
dia gambarkan itu berisiko. Semua sudah dibahas di DPR RI dan tidak ada
masalah, kata Melki Laka Lena dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/4).
Namun,
manuver wakil rakyat dan tokoh nasional itu mendapat tantangan oleh 105
tokoh dari berbagai kalangan civil society (masyarakat sipil). Termasuk
mantan Wapres dan beberapa mantan menteri mengeluarkan pernyataan dan
merebak di publik, Sabtu (17/4).
Tercantum
nama Boediono, Christine Hakim, Goenawan Mohamad, serta dua orang putri
almarhum Gus Dur. Ada juga mantan menteri Emil Salim, Sarwono
Kusumatmaja, berikut Lukman Hakim Saefuddin untuk menyebut beberapa nama
beken.
Charles Honoris anggota DPR RI Komisi IX fraksi PDIP menegaskan tidak pernah ada rapat Komisi itu mendukung vaksin Nusantara.
Dampak
dramatisasi vaksin Nusantara itu melahirkan teater politik yang penuh
sensasi. Menjadi pertanyaan publik, apa penyebab utama pemantik
patriotisme anggota Komisi IX membela vaksin Nusantara?
Adakah
kaitan memanasnya diskursus pengadaan vaksin itu dengan dana besar
puluhan triliun itu? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan
anggaran untuk pelaksanaan vaksinasi gratis tersedia dan akan menjadi
anggaran belanja prioritas di tahun ini. Anggaran awal untuk program
vaksinasi gratis sebesar Rp 73 triliun, kata Sri Mulyani dalam
konperensi pers virtual, Rabu (6/1).
Dalam
acara Rosi Show di Kompas TV, Kamis malam (15/4), Rosi Silalahi
berdiskusi dengan narasumber, diantaranya, Melki Laka Lena, bersama tiga
pakar kesehatan, Ahmad Ruslan Utomo PhD dari Universitas Yarsi,
Jakarta; Prof Chairul Anwar Nidom dari Univeristas Airlangga; dan Prof
Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid 19 IDI.
Menurut
Rosi, anggota DPR RI yang ramai-ramai mempertontonkan keberpihakannya
bukan contoh yang baik. Kepada Melki Laka Lena, Pemimpin Redaksi Kompas
TV itu menanyakan, apa motivasi anggota DPR RI ngotot mendukung vaksin
Nusantara: “tentang sainskah?, tentang bisnis besar, duitkah? Atau ini
tentang politikkah?”
Gonjang
ganjing vaksin Nusantara mengingatkan publik kepada cerita teater
absurd “Menunggu Godot” (Waiting For Godot) karya Samuel Beckett (1952)
terjemahan W.S. Rendra. Yang sekaligus mementaskannya bersama “Bengkel
Teater” Yogyakarta, di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta pada 1970.
Kehadiran Godot adalah in-absentia: keberadaan dari ketiadaan. Dibicarakan terus menerus, namun ia tidak muncul.
Polusi
absurditas sepertinya menjadi subur di dalam peradaban yang serba
virtual di era new normal ini. Tumbangnya kubu pendukung vaksin
Nusantara yang didukung sejumlah politisi beken dari parpol papan atas,
membantu menjelaskan: di dalam tubuh masyarakat telah tumbuh sebuah
imunitas nonmedis yang berhasil menumbangkan keangkuhan politis.
Wartawan
senior itu masih setia mengirim pesan WhatsApp menulis begini: Imunitas
alamiah itu melahirkan kekebalan tubuh terhadap polusi politik yang
menyesatkan!
(Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.)